Monday, January 21, 2013

Peluang, Tantangan dan Peran PTPN X dalam Industri Pergulaan Nusantara


Mutiara Kristal. Itulah ungkapan yang tepat bagi saya untuk mendefinisikan gula. Berbentuk butiran Kristal, berwarna putih kekuning-kuningan yang keberadaannya vital mencakup hajat hidup orang banyak. Anak-anak, remaja, orang dewasa, membutuhkan gula sebagai pemanis hidup sesuai dengan kadar yang dibutuhkan. Hampir setiap jenis makanan dan minuman membutuhkan bahan baku gula. Jajanan kue pasar sampai kue tar membutuhkan gula. Teh manis yang sering tersaji untuk tamu membutuhkan gula. Bahkan, kopi yang rasanya pahit sekalipun membutuhkan gula agar terasa lebih nikmat.. Itulah gula pasir, yang dikonotasikan positif oleh Habibie untuk memuji Ainun dikala pertemuan mereka.

            Masyarakat Indonesia membutuhkan gula. Walaupun kini banyak digulirkan bahwa dengan banyak mengkonsumsi gula sebagai salah satu penyebab penyakit diabetes, mau tidak mau, suka tidak suka, kebutuhan terhadap gula di Indonesia harus tetap terpenuhi. Apakah pemerintah mampu memenuhi kebutuhan gula untuk bangsanya? Mungkin untuk jangka pendek jawabnya adalah iya, dengan melakukan impor gula. Namun, itu bukanlah langkah yang bijak mengingat bonus demografi negara Indonesia. Iklim yang cocok untuk tanaman tebu adalah modal besar bagi Indonesia untuk berswasembada gula. Bahkan seharusnya, semangat yang muncul adalah gagasan-gagasan positif bagaimana cara agar Indonesia menjadi negara pengekspor gula.

   Mengharukan. Indonesia sebagai negara agraris yang berbasis pada pertanian, hingga tahun 2012 masih mengimpor gula yang merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok masyarakat. Kebutuhan dalam negeri sebanyak 2,97 juta ton Gula Kristal Putih per tahun hanya mampu terpenuhi 2,1  juta ton. Maka, Indonesia harus mengimpor gula dari negara tetangga yaitu Thailand.


Gula merupakan produk hasil pertanian yang membutuhkan bahan baku. Dalam pertanian kita mengenal istilah on farm dan off farm. Segala sesuatu yang mencakup budidaya seperti lahan, bibit, dan pupuk termasuk on farm. Sedangkan segala aspek yang mencakup pengolahan tebu di pabrik adalah off farm. Beberapa hal yang bisa menjadi indikator industri gula yaitu produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Produktifitas diperoleh dari total produksi per total luasan lahan. Efektif artinya tepat sasaran dan efisien yaitu minim biaya dengan profit maksimal.

Kondisi Pergulaan Nasional
Mencari informasi mengenai industri pergulaan di Indonesia membuat kita ingin mengelus dada. Indonesia mampu menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua dunia setelah Kuba pada tahun 1930-an. Namun, secara perlahan-lahan mengalami penurunan produksi bahkan kini menjadi negara pengimpor terbesar pertama di Asia dan terbesar kedua dunia setelah Rusia.

Permasalahan utama dalam pergulaan nasional yaitu rendahnya produksi dan efisiensi industri gula nasional secara keseluruhan, dimulai dari hulu ke hilir. Pemicu rendahnya produksi gula nasional adalah semakin menurunnya luas areal dan produktivitas tebu yang dihasilkan, serta rendahnya produktivitas pabrik gula yang tidak efisien. Selain itu pelaku usaha di dalam negeri lebih memilih membeli gula impor yang lebih murah dibandingkan membeli gula produksi domestik. Hal ini menyebabkan industri gula domestik menjadi semakin tidak berdaya menghadapi serbuan gula impor. Keadaan ini diperparah dengan kelemahan kebijakan makro ekonomi dan strategi perdagangan regional dan internasional.

Berdasarkan data yang diolah dari sumber Badan Pusat Statistik, tahun 2012 Indonesia hanya mampu memproduksi gula sebesar 2.318.069 ton dengan tingkat produktifitas 5,07 ton/ha pada areal 456.700 ha lahan tebu. Meskipun produksi dan produktivitas gula meningkat dari tahun 2011, namun peningkatan tersebut juga tidak dapat memenuhi kebutuhan gula secara nasional (tabel 1).

  Tabel 1 Luas areal, produktivitas gula dan produksi gula Indonesia
Tahun
Areal (ha)
Produktivitas gula (ton/ ha)
Produksi gula (ton)
1995
436.037
4.83
2.104.700
1996
446;533
4.84
2.160.100
1997
386.878
5.65
2.187.243
1998
377.089
5.11
1.928.744
1999
342.211
5.26
1.801.403
2000
340.660
5.23
1.780.130
2001
344.441
5.30          
1.824.575
2002
350.722
5.42
1.901.326
2003
335.725
5.93
1.991.606
2004
344.793
5.95
2.051.642
2005
381.786
5.87
2.241.742
2006
396.441
5.82
2.307.000
2007
427.799
6.13
2.623.800
2008
436.505
6.11
2.668.428
2009
422.953
5.52
2.333.885
2010
434.257
5.27
2.288.735
2011
435.000
4.89
2.126.669
2012
456.700
5.07
2.318.069
Sumber : Badan Pusat Statistik (2012) (diolah)
Beranjak ke pabrik, kekurangan bahan baku (tebu) menjadi faktor utama tutupnya 10 PG di Jawa. Dari 60 yang masih aktif, setengahnya beroperasi di bawah kapasitas gilingannya (under capacity) sehingga tidak efesien. Pada saat ini jumlah pabrik gula di Indonesia sebanyak 70 buah, 59 PG aktif dan 11 lainnya tidak aktif. Dari jumlah tersebut, 57 PG berada di Jawa (47 aktif, 10 tutup), dan luar Jawa sebanyak 13 buah (12 aktif dan 1 tutup) (tabel 2).
Tabel 2 Jumlah pabrik gula di Indonesia
Tahun
Jumlah Pabrik Gula
1930
179
1950
30
1956
51
1989
67
1995
68
1997
70
2001
60
2012
70
Beberapa tahun saat orde baru telah berkuasa, karena kurang memajukan industri gula dan pertanian tebu, maka produksi gula Indonesia pun stagnan. Sejak saat itu hingga sekarang, Indonesia kesulitan mencapai swasembada gula. Meskipun demikian, pemerintah berambisi dapat mencukupi kebutuhan gula dalam negeri dari hasil produksi nasional. Pemerintah berharap rasa manis yang dirasakan masyarakat Indonesia berasal dari hasil tebu lokal dengan kualitas terbaik. Namun, swasembada gula sebesar 5 juta ton pada tahun 2014, sepertinya hanya tinggal harapan semu belaka. PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang ditunjuk pemerintah sebagai pengawal produksi gula lokal, menyatakan tidak mampu mencapai target swasembada gula pada tahun 2014.

Mengapa demikian? Menurut Direktur utama PT RNI, Ismet Hasan Putro, target Indonesia berswasembada gula tidak akan tecapai dengan capaian 5 juta ton, jika kompilasi masalah lahan belum diselesaikan.

Melihat pertumbuhan penduduk yang terus meningkat, menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia, mampukah pemerintah memenuhi kebutuhan gula cukup dari produksi dalam negeri? Bila pemerintah berpikir jangka pendek mengimpor merupakan pilihan yang tepat, namun tanpa keseriusan untuk berswasembada, maka hanya akan menjadi isapan jempol belaka dan mungkin saja akan bertambah daftar panjang pabrik gula yang kelak menjadi sejarah.

Menuju Swasembada Gula
Swasembada gula merupakan suatu keharusan bagi Indonesia. Mungkin bagi sebagian pihak tidak masalah dengan mengimpor gula karena kondisi dalam negeri sedang membutuhkan pasokan dan harga gula impor lebih murah. Memang, harga gula impor yang murah menguntungkan Indonesia sebagai negara yang masih mengimpor gula. Namun, efek jangka panjang akan ada pabrik yang gulung tikar mengingat petani tidak berdaya bila harus menjual tebu dengan harga murah. Bila petani kurang mendapatkan untung atau bahkan petani tebu merugi maka petani akan beralih ketanaman lain yang lebih menguntungkan. Berkurangnya tebu berarti berkurangnya bahan baku. Berkurangnya bahan baku berarti mesin penggiling kurang efisien bahkan tidak ada mesin yang beroperasi. Secara logika maka pabrik akan jauh di bawah angka efisiensi sehingga pabrik akan berhenti operasinya.

Menuju swasembada gula, tindakan yang harus dilakukan pemerintah adalah mendorong pabrik meningkatkan produksi, membuat kebijakan yang tidak memudahkan terjadinya impor dan mendorong dibukanya pabrik gula baru di daerah-daerah yang berpotensi untuk industri gula.

Pemerintah mendorong pabrik meningkatkan produksi dengan prinsip efisiensi. Artinya segala sesuatu yang memperbesar output dan meminimalkan biaya input harus direalisasikan. Output besar dengan memperbaharui mesin kapasitas giling, memperluas areal tanam dengan membuka lahan dan mengurangi jam pemberhentian giling dalam arti mesin harus terus beroperasi. Selain itu, banyak produk turunan tebu bersifat non-gula dari sisa ampas penggilingan seperti sebagai bahan bakar yang dibutuhkan pabrik dan pengolahan menjadi bioetanol.  Pemerintah juga harus memberikan jaminan bahwa lahan yang digunakan untuk tanaman tebu tidak mudah untuk diganti dengan tanaman pangan lain atau bisnis lain seperti membangun gedung-gedung. Sedangkan mengurangi biaya input, pemerintah memberikan subsidi untuk benih, pupuk dan pestisida. Kuncinya adalah produktivitas harus tinggi dengan teknologi.

Pemerintah seharusnya mendukung produksi gula domestik dengan tidak membuka keran impor. Artinya walaupun harga gula domestik mungkin sedikit lebih mahal, namun petani tetap aman menanam tebu. berdasarkan hasil studi literatur, ternyata hampir semua negara produsen gula melakukan proteksi dan promosi yang sangat besar terhadap produk pertanian negaranya. Proteksi berupa pengenaan tarif bea masuk yang sangat tinggi hingga pengenaan kuota dan larangan impor, promosi mulai dari pemberian subsidi baik untuk produksi dan subsidi pemasaran berupa pemberian kredit ekspor.

Sebagai contoh di negara Brazil yang memberikan dukungan usaha tani tebu berupa penyediaan infrastruktur pendukung (transportasi, irigasi, pergudangan dan pelabuhan ekspor), kredit dengan bunga rendah sebesar 11-12 %, teknologi budidaya modern dan varietas tebu unggul yang terjangkau. Selain itu dengan kebijakan protektif berupa pemberlakuan harga minimum, peran pemerintah sebagai badan penyangga dan kebijakan perkreditan. Setelah tahun 1997, pemerintah Brazil melepas keterlibatannya secara langsung dalam budidaya tebu dengan liberalisasi penuh, namun kinerja industri gula di Brazil ditentukan oleh kebijakan pemerintah Brazil dengan mengeluarkan Keputusan presiden yang mengatur range kadar campuran alkohol dalam setiap liter bensin yang diperdagangkan untuk memacu permintaan terhadap alkohol. Kebijakan ini merupakan terobosan pemerintah Brazil untuk menyelamatkan indusri gula di tengah tidak menentunya harga gula di pasaran Internasional.

Contoh lain di negara importir seperti Cina juga memberikan kebijakan proteksi dan promosi industri gulanya. Awalnya produksi gula menjadi tanggung jawab keluarga di wilayah pedesaan dengan insentif berupa grain kepada petani di wilayah utama penghasil gula dan subsidi berupa pembangunan irigasi, penyediaan traktor, pupuk dan teknologi. Tahun 1991 pemerintah Cina mereformasi/liberalisasi sektor gula dengan mendorong terjadinya pertemuan langsung pihak pabrik dan pembeli tanpa perantara. Pemerintah Cina juga melakukan tindakan lain seperti membuka lahan perbukitan kering untuk ladang gula bit, mendirikan basis baru produksi gula, menerapkan teknologi baru untuk memperbaharui pabrik lama dan meningkatkan skala produksi, perbaikan kualitas, pengembangan Iptek untuk rendemen, mendirikan 25 lembaga penelitian gula dan 15 sekolah tinggi untuk pengembangan gula, memberikan fasilitasi perbankan melalui Agricultural Bank. Selain itu, upaya proteksi dilakukan melalui makanan dan minuman, serta menerapkan kuota impor 1,8 juta ton pada tahun 2002 dengan tarif 30 % untuk gula putih dan 20 % untuk gula mentah.

 Beberapa contoh di negara tersebut membuktikan betapa keseriusan negara  dalam mengelola industri pergulaan negerinya. Pulau Jawa sudah padat penduduk. Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah, mau tidak mau membuka pabrik gula baru adalah salah satu alternatif yang harus direalisasikan dengan cepat. Mengkaji daerah lain untuk membuka pabrik gula baru adalah sebuah alternatif jangka panjang agar kebutuhan gula terpenuhi. Membuka pabrik baru artinya membangun infrastruktur baru dan membuka lapangan pekerjaan baru.
  
Benang merah dari menuju swasembaga gula adalah meningkatkan luasan lahan areal tanam tebu, memperbaharui mesin penggilingan agar lebih efisien,  pemerintah membuat kebijakan tidak mudah untuk mengimpor gula, dan adanya jaminan dari pemerintah agar lahan diperuntukkan bagi tanaman tebu. Inilah tantangan bagi pemerintah dalam industri gula di Indonesia.

Peran PTPN X
Menjadi tantangan bagi PTPN X yang bervisi menjadi perusahaan agribisnis berbasis perkebunan yang terkemuka di Indonesia, dengan tumbuh dan berkembang bersama mitra. Cukup sudah impor gula dari negara tetangga. Pemerintah harus lebih mendorong daerah-daerah yang berpotensi untuk didirikan pabrik gula dan menarik investor-investor untuk membangun pabrik gula di daerah-daerah tersebut. Hal ini tentunya akan berimbas pada perekrutan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberdayakan masyarakat di sekitarnya.

Sumber : PTPN X
Mencermati tabel di atas, PTPN X masih harus meningkatkan rendemen dan produktivitas dengan teknologi, memperluas areal tanam dan menjamin kesejahteraan karyawan. Data menunjukkan tingkat rendemen  dan luas areal perlu ditingkatkan agar hasil produksi gula meningkat. Cara yang dapat dilakukan memperbesar input, meliputi luasan lahan, bibit, dan teknologi.

Lahan untuk membuka industri gula sebaiknya di luar pulau Jawa, mengingat kebutuhan pangan lain seperti padi serta pembebasan lahan yang relatif lebih sulit di Pulau Jawa. Beberapa daerah yang berpotensi seperti pulau Madura dan Papua. Wilayah Pulau Madura memiliki potensi besar untuk pengembangan areal budi daya tanaman tebu dengan luas lahan yang tersedia mencapai sekitar 90.000 hingga 100.000 ha. Potensi lahan tersebut tersebar di empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Lahan yang sudah dimanfaatkan baru seluas 1000 ha di kawasan Bangkalan dari potensi 43.000 ha. Rencana lahan akan bertambah 6000–7000 ha pada pabrik baru yang selesai pada tahun 2016.

Daerah lain yang berpotensi yakni Merauke-Papua pada proyek food estate mencapai 1,2 juta lahan dalam waktu panjang. Jumlah yang berpotensi bisa mencapai 800.000–1.200.000 ton gula dalam jangka waktu  menengah dan panjang. Namun kini lahan yang baru tersedia minimal 30.000 ha, Artinya, masih banyak daerah di luar jawa yang berpotensi untuk industri gula.

Itulah perihal peluang, tantangan industri pergulaan di Indonesia. Keputusan selanjutnya ada di Pemerintah, hasil positif atau negatifkah yang hendak dipilih. Bila pemerintah memberikan subsidi di bidang on farm, berani merevitalisasi di bidang off farm, berani menjamin ketersediaan lahan untuk perkebunan tebu dan mengeluarkan kebijakan untuk tidak membuka keran impor gula, maka industri gula akan hidup. Namun bila pemerintah selalu mengandalkan impor ketika ketersediaan gula tidak mencukupi, maka swasembada gula hanya akan selalu menjadi impian. Kita pun berharap, bahwa pabrik gula yang berada di Indonesia tidak akan lagi menjadi peninggalan sejarah. Berbicara gula berbicara pertanian. Berbicara pertanian menyoal hidup dan matinya suatu bangsa. Seperti yang Bung Karno pernah katakan “Agriculture is about alive or dead…”

DAFTAR PUSTAKA
 [Anonim]. 2012. Swasembada gula 2014 meramu potensi agar harga gula tetap manis. http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-detail/berita/9. (26 Desember 2012).
Badan Pusat Statistik. 2012. Luas tanaman perkebunan besar menurut jenis tanaman, Indonesia (000 Ha), 1995 – 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=54&notab=1 (13 Januari 2013).
Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi perkebunan besar menurut jenis tanaman, Indonesia (Ton), 1995 – 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=54&notab=1 (13 Januari 2013).
Moerti W. 2012. Kisah suram manisnya gula nasional. http://m.merdeka.com/uang/kisah-suram-manisnya-gula-nasional.html (26 Desember 2012).
Nainggolan Kaman. 2010. Kebijakan gula nasional dan persaingan global.  

PTPN X. 2012. Angka produksi unit usaha gula. http://www.ptpn10.com/Vpage.aspx?mnkanan=true&id=219 (13 Januari 2013).
Samantha G. 2012. Swasembada nasional di 2014 sulit dicapai. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/08/swasembada-gula-nasional-di-2014-sulit-dicapai. (26 Desember 2012).

No comments:

Post a Comment

Ayo dong komentar, terima kasih