Mutiara Kristal. Itulah ungkapan yang tepat bagi
saya untuk mendefinisikan gula. Berbentuk butiran Kristal, berwarna putih
kekuning-kuningan yang keberadaannya vital mencakup hajat hidup orang banyak.
Anak-anak, remaja, orang dewasa, membutuhkan gula sebagai pemanis hidup sesuai
dengan kadar yang dibutuhkan. Hampir setiap jenis makanan dan minuman
membutuhkan bahan baku gula. Jajanan kue pasar sampai kue tar membutuhkan gula.
Teh manis yang sering tersaji untuk tamu membutuhkan gula. Bahkan, kopi yang rasanya
pahit sekalipun membutuhkan gula agar terasa lebih nikmat.. Itulah gula pasir,
yang dikonotasikan positif oleh Habibie untuk memuji Ainun dikala pertemuan
mereka.
Masyarakat
Indonesia membutuhkan gula. Walaupun kini banyak digulirkan bahwa dengan banyak
mengkonsumsi gula sebagai salah satu penyebab penyakit diabetes, mau tidak mau,
suka tidak suka, kebutuhan terhadap gula di Indonesia harus tetap terpenuhi. Apakah
pemerintah mampu memenuhi kebutuhan gula untuk bangsanya? Mungkin untuk jangka
pendek jawabnya adalah iya, dengan melakukan impor gula. Namun, itu bukanlah langkah
yang bijak mengingat bonus demografi negara Indonesia. Iklim yang cocok untuk tanaman
tebu adalah modal besar bagi Indonesia untuk berswasembada gula. Bahkan seharusnya,
semangat yang muncul adalah gagasan-gagasan positif bagaimana cara agar
Indonesia menjadi negara pengekspor gula.
Mengharukan. Indonesia sebagai negara agraris yang berbasis pada
pertanian, hingga tahun 2012 masih mengimpor gula yang merupakan salah satu
dari sembilan bahan pokok masyarakat. Kebutuhan dalam negeri sebanyak 2,97 juta
ton Gula Kristal Putih per tahun hanya mampu terpenuhi 2,1 juta ton. Maka, Indonesia harus mengimpor gula
dari negara tetangga yaitu Thailand.
Gula merupakan produk
hasil pertanian yang membutuhkan bahan baku. Dalam pertanian kita mengenal istilah
on farm dan off farm. Segala sesuatu yang mencakup budidaya seperti lahan,
bibit, dan pupuk termasuk on farm.
Sedangkan segala aspek yang mencakup pengolahan tebu di pabrik adalah off farm. Beberapa hal yang bisa menjadi
indikator industri gula yaitu produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.
Produktifitas diperoleh dari total produksi per total luasan lahan. Efektif
artinya tepat sasaran dan efisien yaitu minim biaya dengan profit maksimal.
Kondisi Pergulaan Nasional
Mencari
informasi mengenai industri pergulaan di Indonesia membuat kita ingin mengelus
dada. Indonesia mampu menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua dunia
setelah Kuba pada tahun 1930-an. Namun, secara perlahan-lahan mengalami penurunan
produksi bahkan kini menjadi negara pengimpor terbesar pertama di Asia dan
terbesar kedua dunia setelah Rusia.
Permasalahan
utama dalam pergulaan nasional yaitu rendahnya produksi dan efisiensi industri
gula nasional secara keseluruhan, dimulai dari hulu ke hilir. Pemicu rendahnya
produksi gula nasional adalah semakin menurunnya luas areal dan produktivitas
tebu yang dihasilkan, serta rendahnya produktivitas pabrik gula yang tidak
efisien. Selain itu pelaku usaha di dalam negeri lebih memilih membeli gula
impor yang lebih murah dibandingkan membeli gula produksi domestik. Hal ini
menyebabkan industri gula domestik menjadi semakin tidak berdaya menghadapi
serbuan gula impor. Keadaan ini diperparah dengan kelemahan kebijakan makro
ekonomi dan strategi perdagangan regional dan internasional.
Berdasarkan
data yang diolah dari sumber Badan Pusat Statistik, tahun 2012 Indonesia hanya
mampu memproduksi gula sebesar 2.318.069 ton dengan tingkat produktifitas 5,07
ton/ha pada areal 456.700 ha lahan tebu. Meskipun produksi dan produktivitas
gula meningkat dari tahun 2011, namun peningkatan tersebut juga tidak dapat
memenuhi kebutuhan gula secara nasional (tabel 1).
Tabel 1
Luas areal, produktivitas gula dan produksi gula Indonesia
Tahun
|
Areal (ha)
|
Produktivitas gula (ton/ ha)
|
Produksi gula (ton)
|
1995
|
436.037
|
4.83
|
2.104.700
|
1996
|
446;533
|
4.84
|
2.160.100
|
1997
|
386.878
|
5.65
|
2.187.243
|
1998
|
377.089
|
5.11
|
1.928.744
|
1999
|
342.211
|
5.26
|
1.801.403
|
2000
|
340.660
|
5.23
|
1.780.130
|
2001
|
344.441
|
5.30
|
1.824.575
|
2002
|
350.722
|
5.42
|
1.901.326
|
2003
|
335.725
|
5.93
|
1.991.606
|
2004
|
344.793
|
5.95
|
2.051.642
|
2005
|
381.786
|
5.87
|
2.241.742
|
2006
|
396.441
|
5.82
|
2.307.000
|
2007
|
427.799
|
6.13
|
2.623.800
|
2008
|
436.505
|
6.11
|
2.668.428
|
2009
|
422.953
|
5.52
|
2.333.885
|
2010
|
434.257
|
5.27
|
2.288.735
|
2011
|
435.000
|
4.89
|
2.126.669
|
2012
|
456.700
|
5.07
|
2.318.069
|
Sumber : Badan Pusat
Statistik (2012) (diolah)
Beranjak ke
pabrik, kekurangan bahan baku (tebu) menjadi faktor utama tutupnya 10 PG di
Jawa. Dari 60 yang masih aktif, setengahnya beroperasi di bawah kapasitas gilingannya
(under capacity) sehingga tidak efesien. Pada saat ini jumlah pabrik
gula di Indonesia sebanyak 70 buah, 59 PG aktif dan 11 lainnya tidak aktif.
Dari jumlah tersebut, 57 PG berada di Jawa (47 aktif, 10 tutup), dan luar Jawa
sebanyak 13 buah (12 aktif dan 1 tutup) (tabel 2).
Tabel
2 Jumlah pabrik gula di Indonesia
Tahun
|
Jumlah Pabrik Gula
|
1930
|
179
|
1950
|
30
|
1956
|
51
|
1989
|
67
|
1995
|
68
|
1997
|
70
|
2001
|
60
|
2012
|
70
|
Beberapa tahun saat orde baru telah
berkuasa, karena kurang memajukan industri gula dan pertanian tebu, maka
produksi gula Indonesia pun stagnan. Sejak saat itu hingga sekarang, Indonesia
kesulitan mencapai swasembada gula. Meskipun demikian,
pemerintah berambisi dapat mencukupi kebutuhan gula dalam negeri dari hasil
produksi nasional. Pemerintah berharap rasa manis yang dirasakan masyarakat
Indonesia berasal dari hasil tebu lokal dengan kualitas terbaik. Namun, swasembada gula sebesar 5
juta ton pada tahun 2014, sepertinya hanya tinggal harapan semu belaka. PT
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) yang ditunjuk pemerintah sebagai pengawal
produksi gula lokal, menyatakan tidak mampu mencapai target swasembada gula
pada tahun 2014.
Mengapa demikian? Menurut Direktur
utama PT RNI, Ismet Hasan Putro, target Indonesia berswasembada gula tidak akan
tecapai dengan capaian 5 juta ton, jika kompilasi masalah lahan belum
diselesaikan.
Melihat pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat, menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia,
mampukah pemerintah memenuhi kebutuhan gula cukup dari produksi dalam negeri?
Bila pemerintah berpikir jangka pendek mengimpor merupakan pilihan yang tepat,
namun tanpa keseriusan untuk berswasembada, maka hanya akan menjadi isapan
jempol belaka dan mungkin saja akan bertambah daftar panjang pabrik gula yang kelak
menjadi sejarah.
Menuju Swasembada Gula
Swasembada gula merupakan suatu keharusan bagi Indonesia.
Mungkin bagi sebagian pihak tidak masalah dengan mengimpor gula karena kondisi
dalam negeri sedang membutuhkan pasokan dan harga gula impor lebih murah.
Memang, harga gula impor yang murah menguntungkan Indonesia sebagai negara yang
masih mengimpor gula. Namun, efek jangka panjang akan ada pabrik yang gulung
tikar mengingat petani tidak berdaya bila harus menjual tebu dengan harga murah.
Bila petani kurang mendapatkan untung atau bahkan petani tebu merugi maka
petani akan beralih ketanaman lain yang lebih menguntungkan. Berkurangnya tebu
berarti berkurangnya bahan baku. Berkurangnya bahan baku berarti mesin penggiling
kurang efisien bahkan tidak ada mesin yang beroperasi. Secara logika maka
pabrik akan jauh di bawah angka efisiensi sehingga pabrik akan berhenti
operasinya.
Menuju swasembada gula, tindakan yang harus dilakukan
pemerintah adalah mendorong pabrik meningkatkan produksi, membuat kebijakan
yang tidak memudahkan terjadinya impor dan mendorong dibukanya pabrik gula baru
di daerah-daerah yang berpotensi untuk industri gula.
Pemerintah mendorong pabrik
meningkatkan produksi dengan prinsip efisiensi. Artinya segala sesuatu yang
memperbesar output dan meminimalkan
biaya input harus direalisasikan. Output besar dengan memperbaharui mesin
kapasitas giling, memperluas areal tanam dengan membuka lahan dan mengurangi
jam pemberhentian giling dalam arti mesin harus terus beroperasi. Selain itu,
banyak produk turunan tebu bersifat non-gula dari sisa ampas penggilingan
seperti sebagai bahan bakar yang dibutuhkan pabrik dan pengolahan menjadi
bioetanol. Pemerintah juga harus
memberikan jaminan bahwa lahan yang digunakan untuk tanaman tebu tidak mudah
untuk diganti dengan tanaman pangan lain atau bisnis lain seperti membangun
gedung-gedung. Sedangkan mengurangi biaya input,
pemerintah memberikan subsidi untuk benih, pupuk dan pestisida. Kuncinya adalah
produktivitas harus tinggi dengan teknologi.
Pemerintah seharusnya mendukung
produksi gula domestik dengan tidak membuka keran impor. Artinya walaupun harga
gula domestik mungkin sedikit lebih mahal, namun petani tetap aman menanam tebu.
berdasarkan hasil studi literatur, ternyata hampir semua negara produsen gula
melakukan proteksi dan promosi yang sangat besar terhadap produk pertanian
negaranya. Proteksi berupa pengenaan tarif bea masuk yang sangat tinggi hingga
pengenaan kuota dan larangan impor, promosi mulai dari pemberian subsidi baik
untuk produksi dan subsidi pemasaran berupa pemberian kredit ekspor.
Sebagai contoh di negara Brazil yang
memberikan dukungan usaha tani tebu berupa penyediaan infrastruktur pendukung
(transportasi, irigasi, pergudangan dan pelabuhan ekspor), kredit dengan bunga
rendah sebesar 11-12 %, teknologi budidaya modern dan varietas tebu unggul yang
terjangkau. Selain itu dengan kebijakan protektif berupa pemberlakuan harga
minimum, peran pemerintah sebagai badan penyangga dan kebijakan perkreditan.
Setelah tahun 1997, pemerintah Brazil melepas keterlibatannya secara langsung
dalam budidaya tebu dengan liberalisasi penuh, namun kinerja industri gula di
Brazil ditentukan oleh kebijakan pemerintah Brazil dengan mengeluarkan Keputusan
presiden yang mengatur range kadar
campuran alkohol dalam setiap liter bensin yang diperdagangkan untuk memacu
permintaan terhadap alkohol. Kebijakan ini merupakan terobosan pemerintah
Brazil untuk menyelamatkan indusri gula di tengah tidak menentunya harga gula
di pasaran Internasional.
Contoh lain di negara importir
seperti Cina juga memberikan kebijakan proteksi dan promosi industri gulanya.
Awalnya produksi gula menjadi tanggung jawab keluarga di wilayah pedesaan
dengan insentif berupa grain kepada
petani di wilayah utama penghasil gula dan subsidi berupa pembangunan irigasi,
penyediaan traktor, pupuk dan teknologi. Tahun 1991 pemerintah Cina
mereformasi/liberalisasi sektor gula dengan mendorong terjadinya pertemuan
langsung pihak pabrik dan pembeli tanpa perantara. Pemerintah Cina juga
melakukan tindakan lain seperti membuka lahan perbukitan kering untuk ladang
gula bit, mendirikan basis baru produksi gula, menerapkan teknologi baru untuk
memperbaharui pabrik lama dan meningkatkan skala produksi, perbaikan kualitas,
pengembangan Iptek untuk rendemen, mendirikan 25 lembaga penelitian gula dan 15
sekolah tinggi untuk pengembangan gula, memberikan fasilitasi perbankan melalui
Agricultural Bank. Selain itu, upaya proteksi dilakukan melalui makanan dan
minuman, serta menerapkan kuota impor 1,8 juta ton pada tahun 2002 dengan tarif
30 % untuk gula putih dan 20 % untuk gula mentah.
Beberapa contoh di negara tersebut membuktikan
betapa keseriusan negara dalam mengelola
industri pergulaan negerinya. Pulau Jawa sudah padat penduduk. Jumlah penduduk
Indonesia yang terus bertambah, mau tidak mau membuka pabrik gula baru adalah
salah satu alternatif yang harus direalisasikan dengan cepat. Mengkaji daerah
lain untuk membuka pabrik gula baru adalah sebuah alternatif jangka panjang
agar kebutuhan gula terpenuhi. Membuka pabrik baru artinya membangun
infrastruktur baru dan membuka lapangan pekerjaan baru.
Benang
merah dari menuju swasembaga gula adalah meningkatkan luasan lahan areal tanam
tebu, memperbaharui mesin penggilingan agar lebih efisien, pemerintah membuat kebijakan tidak mudah untuk
mengimpor gula, dan adanya jaminan dari pemerintah agar lahan diperuntukkan bagi
tanaman tebu. Inilah tantangan bagi pemerintah dalam industri gula di
Indonesia.
Peran PTPN X
Menjadi tantangan bagi PTPN X yang
bervisi menjadi perusahaan agribisnis berbasis perkebunan yang terkemuka di
Indonesia, dengan tumbuh dan berkembang bersama mitra. Cukup sudah impor gula
dari negara tetangga. Pemerintah harus lebih mendorong daerah-daerah yang
berpotensi untuk didirikan pabrik gula dan menarik investor-investor untuk
membangun pabrik gula di daerah-daerah tersebut. Hal ini tentunya akan berimbas
pada perekrutan tenaga kerja, yang pada akhirnya akan memberdayakan masyarakat
di sekitarnya.
Sumber : PTPN X
Mencermati tabel di atas, PTPN X masih harus meningkatkan
rendemen dan produktivitas dengan teknologi, memperluas areal tanam dan
menjamin kesejahteraan karyawan. Data menunjukkan tingkat rendemen dan luas areal perlu ditingkatkan agar hasil
produksi gula meningkat. Cara yang dapat dilakukan memperbesar input, meliputi
luasan lahan, bibit, dan teknologi.
Lahan untuk membuka industri gula sebaiknya di luar pulau
Jawa, mengingat kebutuhan pangan lain seperti padi serta pembebasan lahan yang
relatif lebih sulit di Pulau Jawa. Beberapa daerah yang berpotensi seperti
pulau Madura dan Papua. Wilayah Pulau Madura memiliki potensi besar untuk
pengembangan areal budi daya tanaman tebu dengan luas lahan yang tersedia
mencapai sekitar 90.000 hingga 100.000 ha. Potensi lahan tersebut tersebar di
empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Lahan yang
sudah dimanfaatkan baru seluas 1000 ha di kawasan Bangkalan dari potensi 43.000
ha. Rencana lahan akan bertambah 6000–7000 ha pada pabrik baru yang selesai
pada tahun 2016.
Daerah lain yang berpotensi yakni Merauke-Papua pada proyek food estate mencapai 1,2 juta lahan
dalam waktu panjang. Jumlah yang berpotensi bisa mencapai 800.000–1.200.000 ton
gula dalam jangka waktu menengah dan
panjang. Namun kini lahan yang baru tersedia minimal 30.000 ha, Artinya, masih
banyak daerah di luar jawa yang berpotensi untuk industri gula.
Itulah perihal peluang, tantangan industri pergulaan di
Indonesia. Keputusan selanjutnya ada di Pemerintah, hasil positif atau
negatifkah yang hendak dipilih. Bila pemerintah memberikan subsidi di bidang on farm, berani merevitalisasi di bidang
off farm, berani menjamin
ketersediaan lahan untuk perkebunan tebu dan mengeluarkan kebijakan untuk tidak
membuka keran impor gula, maka industri gula akan hidup. Namun bila pemerintah
selalu mengandalkan impor ketika ketersediaan gula tidak mencukupi, maka
swasembada gula hanya akan selalu menjadi impian. Kita pun berharap, bahwa
pabrik gula yang berada di Indonesia tidak akan lagi menjadi peninggalan
sejarah. Berbicara gula berbicara pertanian. Berbicara pertanian menyoal hidup
dan matinya suatu bangsa. Seperti yang Bung Karno pernah katakan “Agriculture
is about alive or dead…”
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2012. Swasembada gula 2014 meramu
potensi agar harga gula tetap manis. http://ditjenpdn.kemendag.go.id/index.php/public/information/articles-detail/berita/9. (26 Desember
2012).
Badan Pusat Statistik. 2012. Luas tanaman perkebunan besar menurut jenis tanaman, Indonesia (000 Ha),
1995 – 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=54¬ab=1
(13 Januari 2013).
Badan Pusat
Statistik. 2012. Produksi perkebunan besar menurut jenis tanaman, Indonesia
(Ton), 1995 – 2012. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel=1&daftar=1&id_subyek=54¬ab=1
(13 Januari 2013).
Moerti W. 2012. Kisah suram manisnya gula nasional. http://m.merdeka.com/uang/kisah-suram-manisnya-gula-nasional.html
(26 Desember 2012).
Nainggolan Kaman. 2010. Kebijakan gula nasional dan persaingan
global.
PTPN X. 2012. Angka produksi unit usaha gula. http://www.ptpn10.com/Vpage.aspx?mnkanan=true&id=219 (13 Januari 2013).
Samantha G. 2012. Swasembada nasional di 2014 sulit dicapai. http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/08/swasembada-gula-nasional-di-2014-sulit-dicapai. (26 Desember
2012).
No comments:
Post a Comment
Ayo dong komentar, terima kasih